Minggu, 25 Juli 2021

Menanti Gemerlap Listrik Surya Atap

Sepuluh tahun lalu kita mungkin hanya bisa membayangkan listrik bertenaga surya dari foto sahabat yang tinggal di Asia Timur, Eropa atau Amerika. Tapi kini, hamparan panel surya pada atap maupun sisi luar gedung pencakar langit bukan lagi sebuah pemandangan asing di ibukota.

Bahkan, rumah pribadi juga telah banyak yang menggunakannya sebagai sumber energi. Perlahan tapi pasti, listrik tenaga surya telah bertransformasi menjadi gaya hidup nir emisi para kaum penggiat green energy.

Saat ini Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) memang tengah berkembang menjadi primadona. Sebelumnya energi nuklir cukup mendominasi. Namun, pascatragedi Fukushima Daiichi di tahun 2011 yang mengguncang dunia, energi terbarukan lain mulai menjadi incaran baru penopang kebutuhan energi, surya salah satunya. Sumber yang melimpah dan instalasi yang mudah membuat listrik surya kemudian menjadi yang terdepan dalam perkembangannya.

Pada tahun 2019, International Renewable Energy Agency (IRENA) mencatat Tiongkok masih mendominasi pemanfaatan energi surya ini dengan kapasitas terpasang sebesar 263 GW, diikuti Amerika Serikat dan Jepang, masing-masing memiliki PLTS berkapasitas 62 GW dan 61 GW. Ketiganya terus berlomba, baik dari sisi teknologi maupun kapasitas. Bagaimana dengan Indonesia?

Dilalui garis khatulistiwa membuat negara kita memiliki potensi energi surya yang sangat luar biasa. Equator yang membentang melewati Kota Bonjol di Sumatera Barat hingga Pulai Amberi di utara kepala burung Papua, mencatatkan potensi energi surya sebesar 207,8 giga watt (GW), atau hampir tiga kali kapasitas total pembangkit yang dimiliki Indonesia saat ini (73 GW). Sayangnya, potensi tersebut baru termanfaatkan sekitar 154 megawatt (MW), kurang dari satu persennya saja.

Pembangunan PLTS pun terus dikejar. Tak tanggung-tanggung, Pemerintah menargetkan kapasitas PLTS terpasang sebesar 6,5 GW pada 2025. PLTS dianggap sebagai solusi energi alternatif yang ramah lingkungan dan paling cepat diimplementasikan, bagian dari kontribusi nyata Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim dunia.

Di Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, 7 PLTS telah dioperasikan. Setelah menambah tiga PLTS dengan total kapasitas 15 Megawatt (MW), pada medio 2019 PLN kembali menambah kapasitas listrik dengan mengoperasikan PLTS Sambelia di Lombok Utara. Tak mau kalah, NTT dan Kalbar berencana membangun PLTS skala besar. Bahkan di Provinsi Babel dan beberapa provinsi lainnya, PLTS akan didirikan di lahan bekas tambang.

Yang masih hangat di ingatan, PLTS terapung Cirata dengan kapasitas “raksasa” siap dibangun, ditandai dengan ground breaking yang dilakukan akhir tahun lalu. PLTS ini merupakan hasil patungan PLN dengan Masdar, sebuah perusahaan EBT yang berbasis di Abu Dhabi, dengan nilai investasi sebesar USD129 juta. Saat beroperasi nanti, PLTS ini digadang-gadang akan menjadi PLTS terapung terbesar di ASEAN berkapasitas 145 MW.

Tak Perlu Jadi Konglomerat untuk Pasang Surya Atap

Dari sisi biaya produksi, PLTS (solar photovoltaic) semakin bersaing. Dalam satu dekade terakhir, penurunan biaya produksi PLTS mencapai lebih dari 80%, paling tajam dibanding jenis energi terbarukan lain. Dampaknya, semakin banyak pula konsumen yang mulai melirik, tak hanya dalam skala besar, tapi juga ketertarikan sektor bisnis dan rumah tangga yang ingin membeli secara “ketengan”.

Peluang penghematan tagihan juga menjadi tawaran yang menjanjikan. Mendorong pemanfaatan PLTS Atap, lahir beleid yang mengatur keleluasaan meng-ekspor kelebihan listrik yang dihasilkan ke PLN dan bisa mengurangi tagihan listrik di bulan berikutnya. Dengan skema ekspor-impor ini, penghematan tagihannya bisa mencapai 30 persen.

Meski dalam jangka panjang investasi listrik surya ini sangat menguntungkan, PLTS Atap di sektor rumah tangga sebagian besar masih dinikmati masyarakat kelas menengah atas. Biaya awal pemasangan sekitar Rp20 juta per kW masih dirasa cukup mahal, belum menjadi prioritas masyarakat Indonesia pada umumnya.

Bagaimana dengan konsumen dengan kantong pas-pasan yang ingin berkontribusi terhadap penurunan emisi lewat pemasangan surya atap?

Skema yang terjangkau dan memungkinkan untuk kalangan rumah tangga saat ini adalah melalui koperasi. Koperasi Amoghasiddhi di Kota Denpasar menjadi salah satu pionir skema pinjaman PLTS Atap. Memasang harga paket pinjaman senilai Rp35 juta untuk kapasitas PLTS Atap 1 kWp, koperasi tersebut memberikan tenor cicilan selama maksimal 3 tahun.

Sayangnya, perbankan dan lembaga keuangan lainnya masih enggan memberikan skema pinjaman PLTS Atap. Resiko gagal bayar masih menjadi isu bagi pembiayaan sektor rumah tangga. Berbeda dengan motor atau mobil yang bisa langsung ditarik saat gagal bayar, PLTS Atap dipasang khusus sesuai tipikal masing-masing rangka atap/dinding. Hingga saat ini masih belum ditemukan skema jaminan yang bisa diterima perbankan ketika terjadi gagal bayar.

Ke depan, dibutuhkan sinergi dari semua pihak untuk mendukung program ini. Mungkin akan lebih baik pula bila kemudian lahir sebuah lembaga konsultasi yang secara khusus menangani pembangunan surya atap, sehingga percepatan program tak hanya sebatas wacana. Bila sudah banyak pihak yang ingin berkontribusi, gemerlap listrik dari surya atap di berbagai kota mungkin bukan mimpi lagi. Masih menunggu jadi konglomerat untuk memasang listrik surya atap?


Dipublikasikan: 

https://kumparan.com/khoiria/menanti-gemerlap-listrik-surya-atap-1w5eMJG1Zvq

Membidik Harga Murah Mobil Listrik

Siapa yang tak ingin mengendara mobil listrik di jalanan ibukota? Meliuk-liuk menembus keramaian dengan mesin yang nyaris tak bersuara. Mobil listrik ini juga terbukti hemat bahan bakar dan lebih ramah lingkungan dibanding mobil berbahan bakar BBM. Namun sayangnya, kendaraan futuristik tersebut saat ini masih menjadi barang langka di Indonesia, hanya dimiliki beberapa kepala.

Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) mencatat, selama tahun 2020 hanya 81 unit mobil listrik yang terjual di Indonesia, itu sudah termasuk unit Hyundai Ioniq EV yang dipakai oleh Grab. Namun angka ini belum termasuk angka penjualan mobil listrik Tesla, karena distributor Tesla di Indonesia belum tergabung sebagai anggota Gaikindo.

Sementara itu, produsen mobil Jepang seperti Honda dan Toyota masih belum melihat kebutuhan pasar yang signifikan terhadap mobil listrik. Volume penjualan mobil jenis ini kurang dari 3% dari total penjualan mobil secara global. Kurangnya minat konsumen ini mungkin disebabkan karena harganya yang lebih mahal, jarak tempuh yang pendek, maupun lamanya waktu charging.

Harga yang masih tinggi diakui pihak pabrikan menjadi faktor utama langkanya peminat mobil kelas ini. Harga termurah mobil listrik di Indonesia masih dibanderol di atas Rp 400 juta, harganya sekitar dua kali lipat harga mobil berbahan bakar bensin dengan performa dan interior serupa. Wajar, karena di mobil listrik baterai sebagai komponen utama menyumbang setengah dari harga jualnya. Untuk mobil listrik seharga Rp 700 juta misalnya, harga baterainya bisa mencapai Rp 350 juta sendiri.

Belum lagi ketersediaan tempat pengisian daya (charging station) yang masih terbatas. Hingga April 2021, baru tersedia 112 unit charging station yang tersebar di 83 lokasi di Indonesia, baik di SPBU, SPBG, perkantoran, perhotelan, pusat perbelanjaan, hingga area parkir. Mengantisipasi tingginya permintaan mobil listrik nasional, PLN cukup ambisius dengan menargetkan penyediaan charging station hingga 31.866 unit secara nasional pada tahun 2031. Guna meningkatkan pelayanan konsumen, PLN juga telah menyiapkan aplikasi Charge.IN untuk mengetahui lokasi charging station terdekat dan melihat konsumsi listrik kendaraan pribadi.

Tak perlu menunggu lama, banyak perusahaan otomotif yang kemudian merencanakan peluncuran mobil listrik dengan harga ekonomis. Salah satunya Wuling Asal China, yang pede bisa menyediakan harga mobil listrik di kisaran Rp 100 juta untuk pasar Indonesia.

Dalam urusan mobil listrik ini Pemerintah memang sangat serius. Sejak Perpres mobil listrik (Perpres Nomor 55 Tahun 2019) ditandatangani 8 Agustus 2019, berbagai upaya akselerasi mobil listrik massif dilakukan oleh berbagai pihak. Tak hanya soal kepedulian lingkungan, penurunan impor BBM dan upaya penyerapan produksi listrik menjadi alasan mobil listrik ini layak menjadi program prioritas yang terus digaungkan.

Mungkin saat ini mobil listrik masih menjadi konsumsi kelas atas. Namun, bukan tidak mungkin ketika nantinya bisnis model kendaraan listrik ini berkembang pesat, penjualan meningkat, dan harga semakin ekonomis, maka kalangan menengah akan berlomba membawa pulang kendaraan rendah emisi ini ke rumahnya.

 

Menanti Geliat Industri Baterai Nasional

 

Saat industri hilir mobil listrik mulai menampakkan perkembangannya, kesiapan industri penopang di sisi hulu menjadi tantangan selanjutnya. Para ahli di seluruh dunia sepakat, faktor utama dalam pengembangan sebuah kendaraan berbasis listrik terletak pada baterai. Diyakini, Tesla dapat menekan harga mobil listrik karena keberhasilan pengembangan baterai yang semakin efisien, yang membawanya sebagai salah satu pemain utama mobil listrik dunia hingga saat ini.

Sementara itu, bahan baku baterai yakni nikel merupakan salah satu kekayaan mineral terbesar yang dimiliki Indonesia. Sebagai pemilik cadangan nikel tertinggi di dunia (52% dari cadangan dunia), harapan datang bagi Indonesia untuk dapat memproduksi baterai sebagai penopang industri mobil listrik nasional.

Logikanya, ketika baterai bisa dihasilkan dalam negeri tentunya akan banyak menurunkan biaya produksi mobil listrik yang dikembangkan. Apakah sesederhana itu?

Ada banyak proses yang harus dilalui untuk mengolah bijih nikel menjadi baterai (Li-ion) yang digunakan untuk mobil listrik, laptop maupun HP. Di tahap awal ada smelter penghasil produk transisi yang harus disiapkan. Di sana sudah ada dua pesaing besar yakni Moa Bay di Kuba dan Coral Bay di Filipina. Setelah melalui smelter yang mengolah nikel menjadi produk transisi, dibutuhkan beberapa industri turunan yang pada akhirnya memproduksi baterai.

Selanjutnya, produk antara ini kembali diolah menjadi Nickel Sulphate. Sudah ada pendahulu di sana antara lain Sumitomo Metal and Mining (Jepang) dan Umicore (Belgia). Setelah itu, produk tersebut diolah lagi menjadi katoda baterai, dimana pasar dunia untuk produk katoda ini telah dikuasai SMM dan LG Chem serta Samsung (Korea). Terakhir adalah perakitan baterai, sudah ada LG Chem, Samsung, dan CATL (China) sebagai pemain utama.

Tak mau kalah bersaing, langkah besar untuk menjemput momen memanfaatkan sumber daya nikel untuk baterai dilakukan. Awal 2021, Pemerintah mendorong lahirnya PT Industri Baterai Indonesia (IBI), produsen baterai kendaraan listrik milik BUMN, yang sahamnya dimiliki bersama perusahaan pelat merah nasional yakni PT Pertamina (Persero), PT Antam Tbk, PT PLN (Persero), dan Mining Industry Indonesia (MIND ID) dengan porsi kepemilikan masing-masing 25%. Investasi USD 13 miliar digelontorkan hingga tahun 2030.

Melihat semangat dan optimisme saat ini, rasanya mencatatkan diri sebagai pemain utama kendaraan listrik dunia bisa jadi tak hanya sebatas cita-cita Indonesia. Namun kembali lagi, sebuah langkah besar membutuhkan perjuangan panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Kebijakan untuk mendorong perkembangan mobil listrik harus terus dikawal. Insentif perlu disiapkan agar harga semakin kompetitif. Terakhir, pemanfaatan sumber daya dan kemampuan domestik harus terus didorong agar kebijakan benar-benar memberikan multiplier effect bagi kesejahteraan rakyat. Secara bertahap, namun pasti.


Dipublikasikan:

https://www.republika.co.id/berita/qvm6bk291/membidik-harga-murah-mobil-listrik