Sepuluh tahun lalu kita mungkin hanya bisa membayangkan listrik bertenaga surya dari foto sahabat yang tinggal di Asia Timur, Eropa atau Amerika. Tapi kini, hamparan panel surya pada atap maupun sisi luar gedung pencakar langit bukan lagi sebuah pemandangan asing di ibukota.
Bahkan, rumah pribadi juga telah banyak yang menggunakannya
sebagai sumber energi. Perlahan tapi pasti, listrik tenaga surya telah
bertransformasi menjadi gaya hidup nir emisi para kaum penggiat green energy.
Saat ini Pembangkit Listrik Tenaga
Surya (PLTS) memang tengah berkembang menjadi primadona. Sebelumnya energi
nuklir cukup mendominasi. Namun, pascatragedi Fukushima Daiichi di tahun 2011
yang mengguncang dunia, energi terbarukan lain mulai menjadi incaran baru
penopang kebutuhan energi, surya salah satunya. Sumber yang melimpah dan
instalasi yang mudah membuat listrik surya kemudian menjadi yang terdepan dalam
perkembangannya.
Pada tahun 2019, International
Renewable Energy Agency (IRENA) mencatat Tiongkok masih mendominasi
pemanfaatan energi surya ini dengan kapasitas terpasang sebesar 263 GW, diikuti
Amerika Serikat dan Jepang, masing-masing memiliki PLTS berkapasitas 62 GW dan
61 GW. Ketiganya terus berlomba, baik dari sisi teknologi maupun kapasitas.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dilalui garis khatulistiwa membuat
negara kita memiliki potensi energi surya yang sangat luar biasa. Equator yang
membentang melewati Kota Bonjol di Sumatera Barat hingga Pulai Amberi di utara
kepala burung Papua, mencatatkan potensi energi surya sebesar 207,8 giga watt (GW), atau
hampir tiga kali kapasitas total pembangkit yang dimiliki Indonesia saat ini (73
GW). Sayangnya, potensi tersebut baru termanfaatkan sekitar 154 megawatt (MW),
kurang dari satu persennya saja.
Pembangunan PLTS pun terus
dikejar. Tak tanggung-tanggung, Pemerintah menargetkan kapasitas PLTS terpasang
sebesar 6,5 GW pada 2025. PLTS dianggap sebagai solusi energi alternatif yang
ramah lingkungan dan paling cepat diimplementasikan, bagian dari kontribusi
nyata Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim dunia.
Di Nusa Tenggara Barat
(NTB) misalnya, 7 PLTS telah dioperasikan. Setelah menambah tiga PLTS dengan
total kapasitas 15 Megawatt (MW), pada medio 2019 PLN kembali menambah
kapasitas listrik dengan mengoperasikan PLTS Sambelia di Lombok Utara. Tak mau
kalah, NTT dan Kalbar berencana membangun PLTS skala besar. Bahkan di Provinsi
Babel dan beberapa provinsi lainnya, PLTS akan didirikan di lahan bekas
tambang.
Yang masih hangat di
ingatan, PLTS terapung Cirata dengan kapasitas “raksasa” siap dibangun,
ditandai dengan ground breaking yang dilakukan akhir tahun lalu. PLTS ini
merupakan hasil patungan PLN dengan Masdar, sebuah perusahaan EBT yang berbasis
di Abu Dhabi, dengan nilai investasi sebesar USD129 juta. Saat beroperasi
nanti, PLTS ini digadang-gadang akan menjadi PLTS terapung terbesar di ASEAN
berkapasitas 145 MW.
Tak Perlu Jadi
Konglomerat untuk Pasang Surya Atap
Dari sisi biaya produksi, PLTS (solar
photovoltaic) semakin bersaing. Dalam satu dekade terakhir, penurunan biaya produksi
PLTS mencapai lebih dari 80%, paling tajam dibanding jenis energi
terbarukan lain. Dampaknya, semakin banyak pula konsumen yang mulai melirik, tak
hanya dalam skala besar, tapi juga ketertarikan sektor bisnis dan rumah tangga
yang ingin membeli secara “ketengan”.
Peluang penghematan tagihan juga menjadi
tawaran yang menjanjikan. Mendorong pemanfaatan PLTS Atap, lahir beleid yang
mengatur keleluasaan meng-ekspor kelebihan listrik yang dihasilkan ke PLN dan
bisa mengurangi tagihan listrik di bulan berikutnya. Dengan skema ekspor-impor
ini, penghematan tagihannya bisa mencapai 30 persen.
Meski dalam jangka panjang investasi
listrik surya ini sangat menguntungkan, PLTS Atap di sektor rumah tangga
sebagian besar masih dinikmati masyarakat kelas menengah atas. Biaya awal pemasangan
sekitar Rp20 juta per kW masih dirasa cukup mahal, belum menjadi prioritas masyarakat
Indonesia pada umumnya.
Bagaimana dengan konsumen dengan kantong pas-pasan yang ingin
berkontribusi terhadap penurunan emisi lewat pemasangan surya atap?
Skema yang terjangkau dan memungkinkan untuk kalangan rumah
tangga saat ini adalah melalui koperasi. Koperasi Amoghasiddhi di Kota Denpasar
menjadi salah satu pionir skema pinjaman PLTS Atap. Memasang harga paket
pinjaman senilai Rp35 juta untuk kapasitas PLTS Atap 1 kWp, koperasi tersebut
memberikan tenor cicilan selama maksimal 3 tahun.
Sayangnya, perbankan dan lembaga
keuangan lainnya masih enggan memberikan skema pinjaman PLTS Atap. Resiko gagal
bayar masih menjadi isu bagi pembiayaan sektor rumah tangga. Berbeda dengan
motor atau mobil yang bisa langsung ditarik saat gagal bayar, PLTS Atap
dipasang khusus sesuai tipikal masing-masing rangka atap/dinding. Hingga saat
ini masih belum ditemukan skema jaminan yang bisa diterima perbankan ketika
terjadi gagal bayar.
Ke depan, dibutuhkan sinergi dari
semua pihak untuk mendukung program ini. Mungkin akan lebih baik pula bila
kemudian lahir sebuah lembaga konsultasi yang secara khusus menangani
pembangunan surya atap, sehingga percepatan program tak hanya sebatas wacana. Bila
sudah banyak pihak yang ingin berkontribusi, gemerlap listrik dari surya atap
di berbagai kota mungkin bukan mimpi lagi. Masih menunggu jadi konglomerat
untuk memasang listrik surya atap?
Dipublikasikan:
https://kumparan.com/khoiria/menanti-gemerlap-listrik-surya-atap-1w5eMJG1Zvq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar